"JEBAKAN MAUT" DAKWAH DIGITAL MUHAMMADIYAH


Setelah resmi dilantik menjadi anggota LDK PDM Kota Blitar, divisi dakwah digital, saya penasaran ingin melihat lebih luas dunia dakwah digital. Bukan hanya dari kacamata Muhammadiyah, tetapi juga dari beberapa gerakan dakwah di Indonesia. 

Ibarat akan berlayar, sebaiknya tahu peta lautnya terlebih dahulu, mulai daerah  dengan atustenang sampai berbadai. Begitupun dengan dakwah digital, sebelum benar-benar terjun ke medan dakwah, akan lebih mantap bila tahu apa saja yang sebenarnya sedang terjadi di sana.

Dari hasil "penjelajahan" ini, saya  mendapati beberapa hal yang ternyata dapat  menadi “jebakan mematikajika tidak diantisipasi. Oleh sebabnya dalam  tulisan ini perkenankan saya untuk membahas secara garis besarnya.

1. Semua Orang Bisa Berdakwah, Tapi...
Perkembangan teknologi membuat dakwah jadi lebih mudah diakses. Umat muslim kini bisa belajar agama dan menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar hanya dengan modal smartphone.

Tapi kemudahan ini punya sisi lain. Banyak yang nekat berdakwah tanpa bekal ilmu yang memadai, bahkan mengomentari perkara-perkara yang seharusnya butuh pengetahuan mendalam. Masalahnya, bila seandainya mereka mengatasnamakan Muhammadiyah dan salah bicara, reputasi persyarikatan bisa ikut rusak.

Bukan berarti kita harus lulus pesantren atau menjadi ustadz terlebih dahulu untuk berdakwah. Tapi setidaknya, pahami ilmunya. Apalagi bila ingin membahas persoalan ikhtilaf, harus memiliki literasi yang cukup: tahu apa yang kita yakini, apa yang pihak lain yakini, dan bagaimana cara menyampaikannya dengan hikmah, seperti yang Allah perintahkan di QS. An-Nahl: 125 [1].

Saya  pernah menemukan “da’i digital” yang terlalu berani membahas perbedaan pendapat tanpa paham fiqih ikhtilaf terlebih dahulu, parahnya ia terlihat kurang menguasai adab dalam berdakwah. Berani berdebat dengan santri berbeda pandangan tanpa persiapan yang  matang, jangankan adu baca kitab, membaca Al Qur'an saja masih perlu pembenahan.

Padahal, seorang dai digital idealnya memiliki pemahaman yang lebih luas dibanding jamaah pengajian biasa. Ia perlu mengerti konsep ijtihad, perbedaan yang lahir dari ijtihad, dan bagaimana bersikap saat berhadapan dengan perbedaan itu. Kalau tidak, mudah sekali memicu konflik yang bisa melebar menjadi masalah besar.

2. Cara Dakwah Lebih Penting dari Isi Dakwah
Dulu saat saya masih santri, ada nasihat yang selalu saya ingat:

ِالطَرِيْقَةُ أَهَمُّ مِنَ المَادَّة
Cara penyampaian lebih penting daripada materi yang disampaikan

Rasulullah SAW selalu menyesuaikan cara berbicara dengan siapa beliau berhadapan. Teguran beliau pada orang badui yang kencing di masjid (karena  ketidaktahuannya) [2]  tentu berbeda dengan teguran kepada sahabat beriman  yang mengimami shalat terlalu lama [3]. Bahkan kepada Firaun sekalipun, Allah memerintahkan Musa dan Harun untuk berbicara dengan lemah lembut [4]

Sayangnya, banyak dai digital (dan juga aktivis lapangan) yang "sangat enteng" mengeluarkan komentar atau statement berdasarkan apa yang sudut pandangnya  tanpa bertabayun terlebih  dahulu.

Padahal, setiap orang punya latar belakang berbeda. Ibarat orang Indonesia yang terbiasa makan ikan goreng akan menganggap aneh orang Jepang yang makan ikan mentah (sushi), yang sejatinya sama-sama ikan. Sebelum menilai, kita perlu mengerti dulu alasan mereka.

Dalam dakwah digital hal tersebut termasuk ini krusial. Apa yang kita sampaikan bisa berdampak besar, positif maupun negatif. Kalau salah cara, dakwah Muhammadiyah bisa ditolak hanya karena gaya penyampaiannya tidak tepat.

Pertanyaannya, apakah semua da'i akar rumput Muhammadiyah terbiasa berbicara dengan santun dan memahami keadaan sebelum mengomentari amalan orang lain? Nah, inilah PR kita bersama.

3. Algoritma: Kawan atau Musuh?
Pernah lihat video oknum putra kyai yang melakukan hal yang terkesan "neko-neko" atau video ustadz yang mengatasnamakan sunnah mendalili bid'ah suatu amalan berujung pembubaran pengajian ?

Di era digital, algoritma media sosial itu seperti pedang bermata dua. Bisa jadi kawan yang memperluas jangkauan, atau musuh yang justru menjerumuskan ke jurang konflik.

Algoritma bekerja mengikuti minat audiens dan gaya konten yang kita unggah.

Misalnya, di lingkungan NU banyak konten yang ringan, penuh humor ala kyai, dan kisah inspiratif. Karena aman dan menghibur, algoritma pun rajin mempromosikan konten semacam ini, seperti  seorang Gus sedang bertahaduts bin ni'mah dalam kajiannya. 

Namun disamping itu, ada “oknum” yang videonya viral dan merusak citra dakwah NU, 

dan lagi-lagi karena  apa ? 

Ya karena algoritma.

Sementara itu, konten dakwah Salafi biasanya to the point: langsung bahas hukum, larangan, atau penilaian terhadap amalan tertentu. Bagus untuk penguatan iman bagi yang sudah paham, tapi bila  dipotong-potong tanpa memikirkan keadaan komunitas muslim di Indonesia dan didukung oleh algoritma, maka hal ini akan menjadi konflik berkepanjangan.

Di sini, editor video memegang "nyawa da'i" yang dirkamnya. Bila editor dakwah Muhammadiyah tidak paham medan, atau malah ikut menyiram “bensin” di perbedaan pendapat, kita bisa saja mengulang kesalahan yang telah dialami gerakan dakwah lain.

Jangan sampai ketika orang lain mulai berbenah, kita malah baru mau masuk ke dalam perangkap.

4. Tantangan Majmuknya Anggota Persyarikatan
Muhammadiyah punya corak dakwah sendiri; teduh, ramah, mencerahkan, dan wasathiyah. Tapi di lapangan, anggota kita sangat beragam: ada yang mirip corak NU, ada yang condong ke Salafi, ada yang santai seperti “abangan”, bahkan ada yang campur. Semua tetap bagian dari Muhammadiyah.

Di dunia digital, corak dakwah yang terlihat sangat dipengaruhi siapa yang paling aktif dan algoritma yang bekerja.Bila yang paling aktif adalah tipikal keras dan tidak memahami secara utuh medan dakwah, lalu kontennya viral, publik bisa salah paham dan mengira Muhammadiyah keras dan menakutkan.

Makanya, dai digital Muhammadiyah harus paham cara dakwah ala Muhammadiyah. Jangan sampai metode kita justru menyalahi semangat Tarjih Muhammadiyah, misalnya dengan gaya menyalahkan kelompok lain tanpa menghargai perbedaan.

Identitas dakwah Muhammadiyah harus jelas dan konsisten. Kita ingin dikenal sebagai pelopor dakwah yang mempersatukan umat, bukan memecah belah.

Muhammadiyah Itu Persyarikatan Tua, Maka Harus Bijaksana
Muhammadiyah adalah organisasi yang sudah matang oleh pengalaman, ditempa oleh perjalanan panjang, dan teruji melewati berbagai zaman. 

Justru karena itulah, kita yang berada di dalamnya punya tanggung jawab untuk menjaga martabat dakwahnya. Jangan sampai kelalaian kita, atau sikap abai terhadap "jebakan-jebakan" yang ada di dunia digital, membuat dakwah kita mundur, bahkan runtuh.

Setelah memahami dinamika ini, saya mulai mengerti mengapa divisi dakwah digital berada di bawah LDK, bukan Tabligh. Ternyata, medan dakwah digital itu jauh lebih kompleks dari yang terlihat. Rasanya seperti berdakwah di sebuah komunitas yang belum akrab dengan Muhammadiyah, di mana bahasa, pendekatan, dan citra yang kita tampilkan bisa menentukan apakah dakwah kita diterima atau ditolak.

Saya bersyukur LDK PP Muhammadiyah telah menginisiasi Akademi Dai Digital dan pembentukan Forum Da'i Digital Muhammadiyah (FORDIGIMU), kami di daerah menyambutnya dengan semangat. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui -- saya tekankan sekali lagi—tidak untuk menggurui. Saya menyadari dari segi keilmuan saya tidak sealim atau sekompeten para pembaca, saya menerima berbagai saran dan kritik yang membangu. 

Harapan saya, semoga tulisan ini dapat  menjadi bahan renungan dan dorongan kecil bagi kita semua untuk terus memajukan dakwah digital Muhammadiyah dengan cara yang bijaksana, teduh, dan mencerahkan.

Catatan : 
[1] QS. An-Nahl: 125
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۙ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۙ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
[2] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ
«دَعُوهُ، وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ»

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Seorang Badui berdiri lalu kencing di masjid. Maka orang-orang segera menghardiknya. Namun Nabi ﷺ bersabda:
“Biarkanlah dia, dan tuangkanlah seember air di atas kencingnya. Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan untuk mempersulit.”
(HR. al-Bukhari no. 217 dan Muslim no. 284)
[3] عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنِ الصَّلاَةِ مِنْ أَجْلِ فُلاَنٍ، مِمَّا يُطِيلُ بِنَا.
فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فِي مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْ يَوْمِئِذٍ، فَقَالَ:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ مُنَفِّرُونَ، فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ، وَالْكَبِيرَ، وَذَا الْحَاجَةِ»
Dari Abu Mas‘ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku terlambat ikut shalat berjamaah karena imam (sahabat) fulan terlalu panjang bacaannya.” Maka aku belum pernah melihat Nabi ﷺ menasihati dengan marah melebihi saat itu. Beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian bisa membuat orang lari (dari shalat). Maka barangsiapa menjadi imam, hendaklah ia meringankan shalatnya. Karena di antara makmum ada yang lemah, ada yang sudah tua, dan ada yang punya keperluan.”
(HR. al-Bukhari no. 90, Muslim no. 466)
[4] فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thoha : 44)



Ditulis oleh: 
Bima Purwidya Haqjaya, S.Pd.
Ketua Divisi Dakwah Digital LDK PDM Kota Blitar

0 Komentar